Welcome to My Blog!

Hey, what's up, visitor! Hope you guys enjoy what you're doing here. Please leave you comment and say what you need to say. If you have anything for my blog, feel free to send it to:
anisa.khoiria@gmail.com
I'll be waiting for ya!!!
Enjoy...

Thursday, March 3, 2011

Tak Ada Yang Lebih Hebat Dari Beliau

Sayangnya, telah terhapus dari ingatanku kapan peristiwa ini terjadi. Satu – satunya saat dimana kedua mataku terbuka akan takdir yang telah diberikan Tuhan kepadaku.

“Mau setinggi apa cita – citanya, perempuan itu ujung-ujungnya cuman jadi Ibu!” suatu kalimat yang serasa menusuk dipikiranku. Entah kenapa pernyataan ini sungguh mengganggu. Apa yang salah?

Suara kendaraan berlalu lalang disekitarku seakan mengiring perjalananku bersama Mama untuk membeli bahan – bahan persiapan Pengukuhan Guru Besar Papa. Kadang aku heran dengan sikap Mama, kenapa tak pernah terlintas sedikitpun sifat kompetitifnya? Biasanya aku melihat Mama dan Papa bergaul dengan teman suami istri yang tingkat pendidikannya hampir sama. Tapi melihat Mama dan Papa, ada sesuatu yang berbeda.

“Mah,” sahutku.

Mama menengok ke arahku, menyampaikan rasa penarasannya melalui alur – alur di wajahnya.

“Mama bahagia nggak?” tanyaku. “Papa-kan udah jadi Proffesor?”

Dengan senyuman serentak, “Ya jelas bahagia dong! Masa enggak bangga suaminya jadi proffesor?”

Tanpa melihat senyuman Beliau, aku langsung melontarkan pertanyaan keduaku, memang agak krusial, tetapi aku ingin tahu apa sudut pandang Mama tentang ini. “Apa Mama enggak pernah merasa gimana gitu? Papa-kan professor, Mama lulusan UGM tapi enggak ngajar di UGM.”

Mama cuman terdiam, seakan tidak mengerti apa yang aku tanyakan.

Akhirnya aku menanyakan kalimat yang menusuk itu, ”Kenapa banyak istri – istri temennya Mama Papa yang bilang ’ Mau setinggi apa cita – cita perempuan itu, ujung-ujungnya cuman jadi Ibu’?”

Setelah mendengar pertanyaanku, Mama tersenyum lagi. ”Mana yang menurut Nisa lebih baik?” tanya Beliau. ”Jadi ibu, punya karier yang buaguss, tapi anaknya ditinggal? Atau jadi ibu yang mengorbankan kariernya sebentar saja untuk bersama anak – anaknya?”

Refleks aku memilih yang kedua. Tapi kemudian aku bertanya lagi, ”Kenapa wanita lebih bangga dengan kariernya? Entah itu dokter, business woman, artis, dll?”

”Nah, sekarang, mana yang lebih sulit?” Mama bertanya lagi. “Jadi Dokter atau jadi Ibu?“

Aku berpikir, mungkin menurut realitaku, jadi dokterlah yang lebih sulit, sehingga tanpa pikir panjang, aku menjawab, “Jadi dokter.“

“Kenapa dokter?“

“Ya soalnya rumit, Ma. Kan harus sekolah dulu dan sebagainya.“

“Jadi ibu sekolah enggak?“

“Enggak“

“Nah, itu dia,“ jawab Mama.

Tapi aku masih bingung apa maksudnya. Dengan kening berkerut aku bertanya,“Lho kok? Maksudnya?“

Mama cuman tersenyum,“Banyak orang bisa jadi dokter, karena ada yang membimbing, kalau udah selesai sekolah, dapat gelar.“

“Lha terus?“

“Dimana Nisa bisa belajar jadi seorang ibu?“ Mama bertanya.

Kali ini aku benar – benar enggak bisa jawab, jadi ibu itu enggak ada sekolahnya, untuk jadi ibu kita harus langsung jadi ibu. Namun, aku masih mencari – cari jawaban, siapa tahu memang ada cara mudah untuk menjadi ibu. “Ya belajar sama Mama dong.“

“Iya kalau Mama bisa, kalau enggak?“

Aku semakin bingung dihujani pertanyaan – pertanyaan yang berliku – liku. Kenapa enggak bilang aja apa jawabannya?

“Yang bisa jadi ibu untuk anak – anak Nisa nanti ya cuman Nisa. Mama nggak bisa mengajarkan, Nisa harus belajar sendiri,“ jawab Mama.

”Kenapa, Ma?” saat itu aku mulai diselimuti ketakutan, entah ketakutan akan apa, aku enggak bisa menjelaskan kenapa takut.

. “Mama cuman bisa nunjukin jalannya ke Nisa, selanjutnya, terserah Nisa mau melewatinya gimana, asalkan Nisa bisa membawa anak – anaknya Nisa ke jalan itu.”jawab Mama lagi. ”Jalani aja kehidupan Nisa sesuai apa yang ditakdirkan saat ini,” ujar Mama lagi.

”Nisa tahu, ma. Jadi ibu itu enggak gampang, tapi kenapa Nisa jarang lihat perempuan yang seneng jadi ibu? Kalo suaminya berkarir atau dapet gelar, dia pasti iri dan pengen dapet gelar juga,” jawabku.

”Orang itu beda – beda, Nisa. Ada yang rela berkorban dan ada juga yang enggak. Nah, Nisa termasuk yang mana?” tanya Mama.

”Menurut Mama yang mana?” aku balik bertanya.

”Ya, semua itu kembali ke Nisa,” ujar Mama. ”Kalau Nisa percaya Allah tidak akan memberikan apapun kepada umat-Nya kecuali jika sudah siap menerima, ya berati Nisa termasuk yang rela berkorban.”

Inilah pertama kali aku mendapat kata – kata penuntun dari Mama. Allah tidak akan memberikan apapun kepada umat-Nya kecuali jika sudah siap untuk menerima. ”Gimana Nisa bisa tahu kalau Nisa udah siap?” aku bertanya lagi.

”Ya, selama ini Nisa berdoa apa?”

“Doanya banyak, Ma“

“Sebutin satu aja deh,“ kata Mama.

Akupun berpikir, doa apa yang akan kupilih sebagai contoh. ”Ya, jadi orang yang beruntung, deh.”

”Lha sekarang udah beruntung belum?”

“Enggak tahu, Ma,“ jawabku. “Hidup aja kan udah bisa dibilang beruntung.“

“Ya, yang spesifik lagi deh,“ ujar Mama.

”Dapet nilai A selama satu semester ini,” jawabku langsung.

”Udah dapet A semua belum?”

Aku langsung memasang muka gundahku, ”Belum, Ma.”

Entah kenapa Mama langsung ketawa, “Ya berarti belum siap. Mungkin masih harus banyak belajar atau mungkin emang ada suatu alasan Nisa belum bisa dapat A, dan alasan itu Nisa belum atau enggak tahu.“

Tapi sebelum Mama memulai pertanyaan barunya, aku mulai mengerti, Mama termasuk wanita yang rela berkorban. Mengurus tiga orang anak bukan hal yang mudah, Papa juga enggak mungkin melakukannya sendirian. Papa perlu Mama. Bisa aja Mama lebih memilih untuk sekolah S2, S3, atau bahkan sampai proffesor juga, tapi seandainya Mama memang memilih jalan itu, Papa enggak mungkin berdiri di podium pada tanggal 24 Februari 2011 membacakan naskah pidato pengukuhannya dihadapan para dewan penilai Universitas Gadjah Mada, para tamu undangan, dan juga keluarganya. Air mata mulai menetes ke pipiku saat terkenang pembicaraan dengan Mama saat itu.

Di ujung ruangan, barisan pertama, Mama terduduk diam, dengan busana berwarna merah tembaga Beliau menatap pria podium berbalut toga dengan kumis tebalnya yang telah tersemir hitam. Air mata haru tampak mengalir di sekujur pipi Mama. Limpahan air mata yang semakin deras bagaikan air terjun Niagara seraya Papa menamai Mama sebagai istri tercantik dan luar biasa. Pengorbanan Mama untuk Papa menjadi bagian terbesar dari pencapaian ini. Seandainya Mama tidak melirik sedikitpun, Papa tidak akan menjadi guru besar pada usia semuda ini.

Sebenarnya apa yang harus dibanggakan dalam diri perempuan? Jika ada jiwa pengorbanan dalam dirinya, apapun bisa dibanggakan, bahkan bisa diandalkan. Mana yang harus perempuan pilih? Karier atau menjadi Ibu? Kenapa harus memilih? Kita bisa jadi dua – duanya, tidak perlu memilih. Seperti yang telah disampaikan berulang – ulang, Allah tidak akan memberikan apapun kepada umat-Nya kecuali jika sudah siap untuk menerima.

Ucapkanlah kalimat ini saat kita berdoa, memohon petunjuk kepada-Nya. Tidak peduli apa yang dikatakan orang lain, aku telah membuat kalimatku sendiri, “Mau setinggi apa cita – citanya, perempuan pasti bisa jadi Ibu!”

2 comments:

  1. semoga kelak bisa jadi ibu yang baik nisqul :) hehe
    hidup adalah pilihan, dan kamu yang kelak menentukan pilihannya
    apapun pilihanmu aku dukung :)
    aku bantu doanya nisqul :)

    -anonim, sori ak belum mau sebut ID ku-

    ReplyDelete
  2. makasih banyak yaaa.... :)
    kok kayaknya aku dah tau ini siapa...hahaha...

    ReplyDelete