PTB hampir tiba, anak - anak sigma pada mau survey. Banyak hal - hal kocak yang terjadi. Pas briefing pagi - pagi itu aku agak takut nanjak naek mobil. Maklum, punya fobia kemiringan nih. Waktu itu yang nebeng mobilku:
- Fitha : sebagai navigator yang agak kesasar dah lupa arah. hahagz!
- Vina : tidak begitu terdengar suaranya (mmm...)
- Raras : Gak banyak bersuara (tapi kayaknya dia lip sing waktu aq muter 'suppermassive blackhole')
- Chipa : udah gedhe kok dipangku sih, chip... hehehe...
- Rifki : salah satu anggota team ngobrol. hho.
Jujur. Pas sebelum ke tempat PTB kayaknya takuuuuut banget, ntar nek mobilnya mlorot gimana??? ntar nek mogok pas najak gimana???
Setelah itu Upek menyarankan sesuatu yang agak kesuwen tapi lumayan gak efektif ," Ya sampek bawah aja. Ntar dijemput naek motor ke atas"
Padahal sudah jelas bahwa jarak dari bawah ke atas itu jauh banget, pake motor malah tambah ngeri!
Saran kesuwen dan lumayan gak efektif itu dilanjutkan saran aneh dari Nuha,
"Mobilnya ditinggal di bawah aja, qul. Kan wong ndeso ra bakal gelem, ra iso nyetir soale"
Ini adalah pikiran orang yang belum diluaskan. Kenapa?
"Iyo denk," aku menjawab. "Lha tapi nek mengko di dol piye jal?"
Nuha melepaskan tawanya yang bernada rendah itu, "Wo iyo dink"
Akhirnya, aku memberanikan diri juga. Perjalanan pun dimulai... Waktu mobil sudah ke tengah jalan, ada motor liar hampir nyerempet. Huh, dasar penyebrang yang buruk! Di depan mobilku ada dua sosok yang sedang boncengan seperti pasangan gay. Udah pelan, ngobrol dengan mesranya di jalan. Eca dan Andika, kalo di atas motor mereka terlihat serasi juga. Eca yang di depan seperti cowoknya, Andika seperti ceweknya karena dia bermuka kalem (walaupun aslinya gak kalem)Pasangan ini naik motor dengan sangaaat pelan, Eca barusan dapet sim soalna... wow.
Perjalanan itu juga menunjukkan realitas jalur cepat! Haha! Karena ternyata di jalur cepat, mobil melaju lebih cepat daripada motor.
"Oalah, pantesan ini jalur cepat. Kok pas naik motor gak kerasa ya?" kata Fitha.
Musik yang aku dengarkan mempengaruhi emosi. Karena saat itu aku lagi ndengerin SUM 41 sama Suppermassive Blackhole, hasrat ngebutku jadi tinggi, alhasil aku menyalip banyak kendaraan. Hoho. Anak - anak di mobilku berasumsi aneh tentang diriku,
"Wah, mbak nisqul berjiwa racer!" ujar Fitha.
Hari itu memang agak ngebut, saat itu ada seorang pengendara motor yang buanter, kakinya mbegagah kayak cowok. Habis tak salip, dia nyalip, disalip lagi, dia juga mbales nyalip.
"Ni motor! Udah di salip nyalip lagi. Sial!"
"Sabar mbak, sabar" ujar Fitha lagi.
Semua hal terjelaskan setelah kita berhenti di lampu merah. Andika, yang saat itu posisinya masih di depanku berbalik dan menyapa si pengendara yang balapan bersamaku tadi.
Tak dapat dipercaya. Si pengendara tadi adalah Eli, si Sekjend yang telat dateng dan akhirnya menyusul. hohoho. Betapa kagetnya aku dan yang lainnya!
"Hah? Itu mbak Eli? Kok cowok banget sih?" ujar salah Fitha.
"Waduh, tiwas wis misuh - misuh aku. Maap ya, El" ujarku.
Banyak kemesraan terlihat sepanjang perjalanan, contohnya:
-Abel dan Yudha. Kalo dari belakang, Abel keliatan kayak meluk Yudah tuh (gatau beneran pa enggak. hihi) ngobrol mengakrabkan diri gitu deh kayaknya.
-Arshi dan Diaz. Gatau juga mesra dari mana, tapi yang kecil mboncengin yang besar, pengangan ya, Diaz!
-Eca dan Andika. Seperti yang sudah dijelaskan. Haha.
Saat jalan mulai sepi, kecepatanku mencapai 80 km/jam, itu melampaui batas ngebutku. haha. Setelah itu sampailah kami pada tanjakan yang curam itu,
"Pake gigi dua aja, mbak. Bisa kok" Fitha berkata.
Kulihat kebawah, memang sudah gigi dua, pedal gas kuinjak hingga pol!
Yap, akhirnya naik juga sampai ke puncak walaupun banyak pemandangan yang menyusahkan. Motornya Wrest udah ngos - ngosan ampek asapnya banyak banget, motornya Nuha mulai melamban dan merosot ke bawah (hampir sih) Upek yang berpose seperti polisi lalu lintas segera turun tangan membantu Wrest yang motornya ternyata gak kuat.
Kesuksesan kedua juga kuraih setelah mobilnya bisa masuk sampai ke lapangan tanpa tergores (hoho. mbuh denk, durung tak tilik e)
Hujan pun turun ketika kita (kecuali Upek dan Arshi yang sukarela menjadi tukang parkir untuk menjaga kendaraan - kendaraan di lapangan, mereka terlihat seperti kakak beradik yang sedang menyerahkan warisan tanah parkiran, kalo enggak ya kakak yang sedang mengajari adiknya menjadi tukang parkir) menelusuri tempat PTB mencari perpustakaan di SD, kami bertemu seorang ibu dan suaminya yang sedang ngeceng di depan rumahnya.
"Ngiyup dulu, mas, mbak" ujar ibu tersebut.
"Nggih, bu." ujar seseorang dibelakangku.
"Kelas pinten e? Kok wis gedhe - gedhe?" si Ibu bertanya lagi.
Hahaha. Kita cuman ketawa, bingung njawabnya gimana.
"Emange awak dhewe gedhe banget po?" ujar salah seorang dari kita.
Saat berteduh di SD kita semua terlihat seperti korban bencana banjir yang barusan keleleb. Kalo enggak, ya kayak korban Situ Gintung yang habis kelimbas ombak gedhe. Udah basah, lusuh, beratakan, kotor pula (gak kotor banget sih). Sambil duduk di depan kelas - kelas, kita rembukan gimana rencana PTB kita. Reza punya usul yang menarik tapi kurang adil bagi illustrator tercinta kita, Satrio.
"Kita kasih gambar para pahlawan aja. Mas Satrio suruh nglembur. Dua minggu jadi wes!" kata Reza dengan tampang innocent.
"Hohoho" Nuha ngelepasin ketawanya yang bernada rendah itu. "Mesake, ndul."
Setelah hujan reda, perjalanan dilanjutkan, hahaha, dibeliin dawet ma Nuha. Di jalan kita juga bertemu beberapa anak Panum. Foto bersama wajib dilakukan. haha.
Seusai perjalanan kita kembali ke lapangan. Di lapangan, hal serupun terjadi ...
(mau tau cerita selanjutnya??? ikuti terus kisahnya!!!)
waah, orang2nya diperhatiin bgt ..
ReplyDeletempe ketahuan ada yg lipsing.
wkwkwkwk
. , . , . ,
ReplyDelete